Selasa, 18 Desember 2012

Arti Sebuah Ketulusan

Motivasi
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Hidup kami yang
serba ada, bahkan terkesan sangat berlebih, tiba-
tiba berbalik seratus enam puluh derajat. Yang
tadinya kami bisa makan apapun yang kami mau,
kini untuk makan satu hari sekali pun kami
belum tentu bisa.
Ini semua karna ada pekerja Bapak yang
membawa lari semua aset perusahaan, akibatnya
semua harta kami harus diambil untuk
membayar gaji karyawan. Hanya tinggal sisa-
sisanya saja yang mampu membuat kami
bertahan, walapun dengan keadaan yang jauh
dari sebelumnya.

“ Bunda, apa kita akan terus seperti ini? Gimana
dengan kuliahku? “ kataku mulai merajuk.

“ Sabar yaa sayang, Bapakmu sedang merintis
usahanya kembali dari awal. Insyaallah, nanti
kalau usaha Bapak sudah maju, kamu bisa kuliah
lagi,” Bunda menenangkanku.

“ Tapi kapan Bunda, belum tentu tahun depan
atau tahun depannya lagi kan,”

“ Kamu mau kan Allah tetap mendampingimu
dalam setiap keadaan?” aku mengangguk.

“ Allah selalu bersama orang-orang yang sabar,
jadi bagaimana mungkin kamu mau selalu
bersama Allah kalau kamunya ndak mau
sabar,Nak, “ kata Bunda lagi.
Bunda, kau selalu begitu sabar dan tabah,
padahal aku tahu hatimu menjerit ketika aku dan
adik-adik bertanya-tanya tentang keadaan kita.

Dalam setiap sujudmu, aku sering mendengar
kau mendoakan kami dalam derai air mata
ketulusan. Bahkan dengan keadaan seperti ini,
kau tulus mendampingi Ayah tanpa mengeluh.
Aku segera memeluk Bunda, memohon maaf
atas khilaf dan keegoisanku. Tetesa air mataku
segera dihapus dengan punggung tangannya. Dia
tersenyum begitu manis padaku.

Ternyata tak perlu waktu yang sangat lama,
perlahan tapi pasti kehidupan kami semakin
meningkat. Ayah berhasil merintis usahanya
kembali meskipun tak seperti dulu, ini berkat
kegigihan, do’a, dan yang terpenting kami yakin
Allah selalu bersama-sama kami.

Namun tiba-tiba saja, aku dikejutkan dengan
sebuah SMS dari adikku, bahwa Bunda dibawa ke
Rumah Sakit. Bunda terjatuh di kamar mandi,
kondisinya tak sadarkan diri. Dengan derai air
mata, aku segera menuju Rumah Sakit.

“Ayah, gimana keadaan Bunda?” ku lihat ada
perban kecil didahinya.

“ Ndak apa-apa,Nak. Bunda tadi kepleset di
kamar mandi, terus kebentur kepala Bunda di
dinding Bak Mandi. Untungnya, ada adikmu yang
melihat. Sekarang Bunda lagi istirahat jangan
diganggu dulu “
Lega rasanya Bunda tidak mengalami luka serius.
Aku melihat Ayah dalam keletihannya setelah
pulang bekerja, masih sempat memperhatikan

Bunda dengan teliti.
Aku lihat kemesraan yang sama dari dulu sampai
sekarang, tak ada yang berubah dari mereka.
Ayah begitu tulus menyuapi Bunda, bahkan
menuntun Bunda ke kamar mandi. Aku jadi
berharap, suatu saat aku ingin punya suami
setulus Ayah, tapi apakah masih ada ?

“ Nia, ngelamun saja. Tolong bantuin Bunda
duduk ,” kata Bunda membuyarkan lamunanku.
Aku hanya tersenyum .

“ Bunda, Ayah kok mesra terus yaa sama Bunda?
Nia bisa nggak yaa dapetin suami yang tulus, mau
berbagi dalam keadaan apapun” tanya ku dengan
wajah yang bersemu merah.

“ Ndak mudah untuk mencari suami yang tulus
Nia, tapi lebih mudah kalau kamu yang membuat
suamimu nanti menjadi orang yang tulus dan
mau berbagi,” Bunda tersenyum menyiratkan
sebuah arti. Aku mengerutkan dahi, tanda
bingung dengan perkataan Bunda.

“ Mulai dengan dirimu sendiri Nia, buatlah
dirimu tulus menerima suamimu nanti.

Insyaallah dia akan berbalik tulus terhadapmu.
Lihatlah Ayahmu,Nak. Bunda mencoba untuk
selalu tulus padanya, mau berbagi disetiap
keadaan, selalu bersamanya dan
mendampinginya, Bunda enggan
meninggalkannya dalam keadaan apapun. Kini
kamu bisa lihat Ayahmu, dia pun enggan
meninggalkan Bunda meskipun Bunda dalam
keadaan seperti ini “
Aku terpana, terkejut dengan jawaban Bunda. Tak
pernah aku berpikir sedikitpun tentang memulai
dari diri sendiri, yang aku pikir hanya
keinginanku untuk mencari pasangan yang ‘sudah
jadi’ dengan apa yang ku harapan.

0 komentar:

Posting Komentar

Follow Me