Minggu, 23 Desember 2012

SI DANAU BENING YANG SEBENING EMBUN

religi
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ...Aku mengenal gadis itu sekitar dua tahun yang lalu, saat menginjakkan kaki di tempat tugas baru. Selepas kuliah di malang aku mendapat tugas yang tidak pernah terbayangkan. Dulu aku mahasiswa dengan angan melambung tinggi menembus batas waktu dan realitas yang sesungguhnya. Sekarang aku merasa terlempar ditempat yang tak pernah terbayangkan.

Tapi gadis itu membuka cakrawala baru, langit baru bahkan melahirkan matahari baru dari bening matanya. Bening matanya menyadarkan diriku, kalau selama ini aku tidak berpijak dibumi tetapi juga tidak menggantung dilangit. Masriah nama sederhana, dengan bening mata yang damai bagai danau biru, sejuk dan lembut tentu menyegarkan jiwa yang haus.

Sungguh menyejukkan saat aku masuk kelas dia berada diantara siswa, danau bening itu muridku sendiri. Aku tergeragap, semua terasa mimpi yang tidak kunjung dimengerti ujung pangkalnya . Seolah-olah aku masuk diduni lain di planet yang asing

Aku memulai pertemuan-pertemuan pertama dikelas dengan pikiran tertatih-tatih, perasaan asing dan terlempar dari mimpi indah begitu menguasai jiwa, Tapi aku seorang guru, harus bisa menampilkan guru sebagai sosok tenang dan dewasa.

“Tahukah kalian, mengapa pagi ini kita berada disini ?” Dengan segala kewibawaan yang aku miliki , pertanyaan itu aku lontarkan. Kemampuan teaterikal yang aku pelajari sejak SMA benar-benar sangat membantu. Pandanganku menyapu seluru kelas, terakhir dengan kekhusukan hati pandanganku berhenti pada gadis danau bening itu. Masriah tersenyum, aku semakin merasakan dia adalah danau bening. aku pun tersenyum.

“Karena kita mempunyai banyak kesamaan , sehingga pagi ini kita bertemu. Kita sama mempunyai niatan yang tulus untuk belajar,” aku menjawab pertanyaanku sendiri “kita dipertemukan kewajiban; kalian mempunyai kewajiban belajar, dan saya mempunyai kewajiban mengajar.

Waktu memang selalu mengalir kedepan dan tidak mungkin diundurkan. Hari terasa berlari dan aku ngugun meliat waktu berpacu. Sesekali menjadi damai dan menyenangkan dan damai jika bersama danau bening.

Tubuhnya yang kecil lincah bergerak dipematang sawah dibelakang rumah, Lewat jendela setengah terbuka aku selalu melihatnya dipayungi senja, seperti ikan mas berenang-renang dalam air bening, aku damai melihatnya.

Senja akan berangsur gelap. Lalu aku akan ngungun sendiri dalam mimpi yang tidak aku mengerti. Malam ini tidak seperti biasa. Pintu rumah kontrakan ada yang mengetuk. Ketika aku buka danau bening sudah berada didepan dengan senyum pancuran air lincah langkahnya memasuki ruang tamu aku damai seolah angin gunung yang memancar dari tubuhnya. Kalimat centilnya bagai riak lembut dengan kecipak air, merdu ditelinga.

“ Apakah orang dewasa itu suka berbohong ?’’ Aku terkejut mendengar pertanyaan itu. Menerawang jauh menembus masa lalu Waktu kecil aku juga mempunyai pikiran seperti itu. Ayahku mengajariku gemar untuk sedekah, sering marah bila pengemis mendekat kerumah.

“ Mengapa kau bertanya seperti begitu?’’ Danau bening tersenyum . “ Coba jelaskan tidak usah ragu.”

“Apakah kejujuran itu perlu?” aku benar-benar terdampar . Pertanyaan danau bening seperti arus dalam. Tenang tapi menghanyutkan.

“Sangat perlu. Karena kejujuran puncak ibadah. Jika kita tidak jujur, kita akan termasuk orang munafik yang dibenci nabi.”

“ Apakah kejujuran itu baik?” serga danau bening”
“ Kejujuran itu puncak kebaikan”

“ Tapi mengapa orang-orang marah kepada saya, ketika dengan jujur berkata kepada pak parmin bahwa makan uang riba itu dosa yang akan mengantarkannya ke neraka. Pak parmin marah mau menampar saya, untung saya bisa lari, Pak lik ikut marah dan beberapa tetangga ikut marah.”

Aku bergetar. Ruhku yang ngungun bergelonjotan melompat-lompat, menabrak-nabrak dan akhirnya tertegun, Aku memandangi danau bening.

“siapa pak Parmin”

“Rentenir terbesar di desa ini, bahkan mungkin terbesar sikecamatan ini,”. Kata danau bening.

“Karena kadang orang sering kali menolak kebenaran yang telah digariskan oleh Allah.”

Bagai seorang resi yang baru turun dari gunung aku mencoba berkata sebijak mungkin. Danau bening menahan nafas. Dalam hatiku tumbuh pikiran bahwa apa yang aku katakana menyinggung diriku sendiri. Aku merasakan danau bening akan mengeluarkan batu-batu didasarnya.

“Keluarkan saja apa yang ada dasar hatimu.”

“Pak haji yang begitu anggun dalah khotbahnya dan mengutuk riba , sering makan malam bersama pak parmin, Bapak mengerti kan nasi itu dari uang riba. Setelah itu mereka berdoa bersama. Pak haji pulang dengan terlebih dahulu ditempeli lembaran uang yang juga berasal dari riba.”

Danau bening menunduk. Aku semakin takjub. Kalimat itu bagai air mengalir dalam bibirnya. Gadis seusianya telah banyak bergelut dengan realitas kehidupan. Sedangkan aku selalu bergelut dengan pikiran-pikiran bagamana membandingkan pemikiran Hasan Hanafi dengan Khoemaini, atau Ibnu Khaldun dengan Habermas.

“Lalu saya berkata kepada pak Haji..?” Danau bening mengangkat wajahnya. “ pak Haji uang dan makanan dari Pak Parmin itu dari riba, jadi haram hukumnya. Pak Haji marah. Ayah dan Ibu juga marah. Jadi karena jujur mereka marah.”

Dalam hati, saya membenarkan perkataan danau bening. Aku seringkali tidak melihat ketidakjujuran. Pak kiai dalam setiap khutbahnya selalu mengutip ayat tentang pentingya ukhuwah islamiyah. Tetapi selama setahun lebih tidak bertegur sapa dengan kiai sebelah rumah hanya masalah yang sepele.

” Mengapa orang dewasa, suka ketidakjujuran?”
“Karena hati mereka tidak bening, seperti hatimu”

“Mengapa hati mereka tidak bening?”

“Karena hati mereka penuh karat dan berdebu”
“Karena jarang membasuh jiwa dengan air ketulusan”

“Dimana air ketulusan itu?”
“Dilalam hati yang jujur seperti hatimu”

“Bagaimana mengambilnya?”
“Dengan timba ikhlas dan tali iman.”

“Dimana mangambilnya?”
“Di sumur hati terdalam. Sumur yang digali oleh kesetiaan pada ajaran Tuhan.”

“Apakah bapak tidak marah saya jujur terhadap bapak, seperti saya jujur kepada Parmin dan Pak Haji.” Aku menggeleng mantap.

“Bapak juga tidak jujur dengan diri sendiri. Bapak mengatakan islam menyuruh kita sabar. Tetapi bapak sendiri seringkali marah untuk persoalan sederhana yang seharusnya bisa diselesaikan dengan senyuman. Bapak juga mengatakan sholat jum’at itu paling baik di shaf terdepan. Tetapi bapak selalu terlambat sehingga di shaf akhir. Bapak juga mengatakan betapa penting dan muliahnya membaca Al quran, tetapi saya sangat jarang melhat bapak membacanya.”

Aku bergetar dan hampir saja marah terlontar. Tetapi kalau aku marah, apa bedanya dengan pak parmin rentenir itu. Danau bening menunduk. Aku menangis tersedu.

“Apakah kejujuran itu perlu?”
“Sangat perlu,” suaraku serak.

“Mengapa bapak menangis?” Danau bening kembali memancarkan kesejukan.

“Bapak marah?”

“Aku terharu, Aku berterimakasih kepadamu. Engkau jujur.” Aku berkata semakin serak. “Engkau menyelamatkan aku.”

“Benar bapak tidak marah?”

“Demi Allah, saya tidak marah.”

Danau bening tersenyum lalu bersujud. Air mataku semakin keras mengalir. Seandainya Indonesia dimpimpin oleh seorang sepertimu Masriah, gadis danau beningku, kita tidak akan melihat darah yang tumpah dan sejuta masalah yang tidak ada ujung pangkalnya. Tapi aku sendiri tidak seratus persen jujur, karena sempat menyimpan marah walau tidak sempat terlontar …

... Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci ...

0 komentar:

Posting Komentar

Follow Me