Minggu, 23 Desember 2012

Konsep Tuhan Dalam Al Quran

religi
Dalam al-Qur'an, Tuhan adalah hakikat yang mutlak (al-Haqq), sementara semua bentuk ketuhanan yang lain adalah salah (bathil), mereka hanyalah nama. Ia bukanlah suatu bentuk proyeksi pikiran manusia, seperti diduga oleh Feurbach, juga Tuhan bukan produk kebencian orang-orang yang kecewa, seperti kata Nietzsche. Bukan pula sebuah ilusi orang-orang yang masih kekanak-kanakan, seperti pendapat Freud. Juga bukan seperti dugaan Marx, suatu candu masyarakat, suatu hiburan yang dipersembahkan demi keuntungan pribadi.

Tuhan menurut al-Qur'an adalah Dia yang selalu hidup (al-Hayy al-Qayyum), yang melampaui batasan tata ruang dan waktu, Yang Pertama (al-Awwal) dan Yang Akhir (al-Akhir), Yang Nyata (al-Zhahir) dan Tersembunyi (al-Bathin). Hakekat Tuhan yang pasti adalah tidak dapat diketahui, karena Ia melampaui semua pengertian.

Berulang kali al-Qur'an menyebut bahwa Tuhan selalu hadir dan dekat, bahkan dalam kenyataannya lebih dekat dari urat leher manusia. Apa maksudnya ? Tentu, ini bukan berarti pengertian fisik Tuhan yang berada atau dekat, meskipun dalam kenyataannya dekat dengan manusia. Ini mengimplikasikan, seperti ditunjukkan oleh konteks itu, bahwa Tuhan selalu sadar dan memperhatikan gerak hati dan tindakan-tindakan luar manusia, dengan harapan bahwa manusia akan menahan diri dari tujuan-tujuan yang tidak disukai oleh Penciptanya.

Seiring berputarnya waktu, bergantinya zaman dan semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, banyak tuhan-tuhan baru yang tercipta. Manusia tidak lagi mengenal atau bahkan enggan mengenal Tuhan dengan "T" besar. Setiap keputusan yang dibuat dalam kehidupannya selalu menomer sekiankan Tuhan dan menomer satukan dirinya.

Teolog kontroversial Jerman, Hans Kung dalam bukunya Does God Exist ?, menceritakan kisah yang menunjukkan kesombongan hati sejumlah ilmuwan sekular. Ketika ditanya apakah ia meyakini adanya Tuhan, seorang pujangga dan tokoh filsafat besar mengatakan: "Tentu tidak, saya adalah seorang ilmuwan". Sedangkan filsafat al-Qur'an tentang alam semesta akan mendorong seorang ilmuwan menjawab, "Ya, tentu, meskipun saya adalah seorang ilmuwan".

Muhammad Iqbal dengan tepat sekali mengingatkan bahwa pengetahuan ilmiah yang tidak mempertinggi dan tidak dikaitkan pada agama adalah iblis. Ia menulis, "Akal yang diceraikan dari cinta adalah durhaka (seperti iblis), sedangkan akal yang disiram dengan cinta pastilah memliki sifat ketuhanan". Dan inilah yang akhir-akhir ini seringkali kita lihat atau dengar di lingkungan sekitar kita, tentang seseorang yang dianggap berilmu tetapi ilmu itu digunakan untuk melawan atau memutar balikkan perintah Tuhan sebagai Sang Pencipta alam semesta.

Semua ciptaan di alam semesta ini semisal malaikat, langit, semut dan bahkan petir adalah penting untuk secara spiritual, dalam arti bahwa ciptaan-ciptaan itu pun menyerukan pujian kepada Tuhan dalam kondisi yang melampaui pengertian manusia (QS 17:44). Walaupun begitu, semua alam semesta ini dijadikan untuk dimanfaatkan oleh manusia.

Pemanfaatan ini adalah untuk mempertinggi tujuan penciptaan manusia yang sebenarnya, yaitu untuk melaksanakan ibadah kepada Tuhan sesuai dengan surat Adz Dzaariyaat 56, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku". Tuhan sendiri tidak memerlukan balasan berupa pemberian dari manusia atas diciptakannya mereka beserta alam semesta ini (QS 51:57), karena Tuhan-lah Dzat yang selalu hidup (al-Hayy al-Qayyum) dan berdiri sendiri tanpa bantuan siapapun atau apapun (QS 2:255). Sehingga apabila seorang manusia dalam seumur hidupnya selalu beribadah pun tidak akan menambah keagungan Tuhan itu sendiri, melainkan memberikan keuntungan dan kebaikan terhadap manusia itu sendiri secara lahir dan bathin, untuk di dunia dan terlebih lagi untuk di akhirat.

Sedangkan manusia sendiri mempunyai banyak kelemahan. Disebutkan dalam al-Qur'an, manusia adalah mahluk yang enggan dan kikir (QS 17:100), mahluk yang paling banyak bantahannya (QS 18:54), sangat sedikit dalam mensyukuri nikmat (QS 7:10), tidak sabar dan suka berkeluh kesah (QS 70:19-20), suka melampaui batas dan merasa kaya (QS 96:6). Disebutkan lagi, manusia adalah mahluk yang mencintai kehidupan dunia dan tidak memperdulikan akibat dari perbuatan mereka di hari akhir (QS 76:27) dan lain sebagainya. Maka terlihat jelas, manusia-lah yang membutuhkan Tuhan dan bukan sebaliknya. Manusia akan selalu membutuhkan Tuhan dalam segala aspek kehidupannya agar menjadi insan yang lebih baik.

Kebebasan manusia, akal dan cabang-cabangnya yang lain, begitu juga alam semesta yang besar ini, haruslah digunakan bukan semata-mata demi kenikmatan tetapi sebagai suatu bentuk beribadah. Dengan cara ini, dimensi spiritual terdalam semua mahluk yang dimanfaatkan manusia untuk beribadah akan mendatangkan keserasian dalam tujuan dan tatanan penciptaan, bukan lagi kekacauan.

Oleh karena itu, sudah saatnya setiap kita, manusia, saya dan anda, semakin memahami konsep Tuhan seperti yang dijelaskan dalam al-Qur'an dan selalu melibatkan Tuhan dalam setiap ruas kehidupan kita. Bukan untuk keuntungan Tuhan, tapi demi kita, manusia itu sendiri.

SUMBER : scribd.com/doc/43899166/Manusia-Dan-Agama

Semoga Bermanfaat

0 komentar:

Posting Komentar

Follow Me